UNDIAN
BERHADIAH DAN PERLOMBAAN BERHADIAH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
A.
Undian
Berhadiah
Di dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan, bahwa lotere
(Belanda Loterij = undian berhadiah, = nasib, peruntungan), undian berhadiah
barang atas dasar syarat-syarat tertentu yang ditetapkan sebelumnya. Menang
atau kalah sangat bergantung kepada nasib. Penyelenggaranya bisa oleh
perorangan, lembaga atau badan, baik resmi maupun swasta menurut peraturan
pemerintah (Departemen Sosial). Undian itu biasanya diadakan bertujuan untuk
mengumpulkan dana atau propaganda peningkatan pemasaran barang dagangan.
Undian berhadiah seperti Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB)
yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI dan Kupon Berhadiah Porkas Sepak
Bola yang diselenggarakan Yayasan Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS),
merupakan salah satu masalah yang aktual dan kontroversial yang hingga kini
masih tetap ramai dibicarakan oleh tokoh-tokoh masyarakat. Ada yang pro dan ada
pula yang kontra dengan argumentasinya masing-masing. Memang untuk mencari dana
dengan cara penyelenggaraan undian/kupon berhadiah seperti hal tersebut tadi
merupakan cara yang sangat efektif, karena dapat menarik masyarakat
berlomba-lomba membelinya dengan harapan akan memperoleh hadiah yang
dijanjikan.
Demikian pula dalam dunia perdagangan dewasa ini banyak
pula jual beli barang dilakukan dengan sistem kupon berhadiah untuk kepentingan
promosi barang dagangannya. Semisal pada sebagian tutup minuman tertera nomor
yang bisa dikirim ke layanan tertentu dengan menggunakan SMS kemudian diundi
untuk mendapatkan hadiah yang telah ditentukan. Apakah biaya SMS-nya dengan
harga biasa maupun tertentu (dikenal dengan pulsa premium). Ada juga sebuah
toko perbelanjaan yang menyebarkan kupon, setiap orang yang berbelanja di toko
tersebut minimal Rp. 50. 000,00 dapat menukarkan struk belanjanya dengan satu
kupon undian berhadiah yang nantinya akan diundi. Dan orang yang nantinya kupon
undiannya keluar saat proses pengundian, maka ia berhak memperoleh hadiah yang
sudah dijanjikan sebelumnya. Biasanya berupa benda atau uang. Kegiatan ini
diadakan untuk membuat para pengunjung agar lebih tertarik dalam berbelanja di
toko tersebut.
Lottery (Inggris) berarti undian. Dengan demikian, lotere
atau undian pada hakikatnya mempunyai pengertian yang sama. Tetapi pengertian
yang berkembang dalam masyarakat amat berbeda. Lotere dipandang sebagai judi,
sedangkan undian tidak. Karena terdapat perbedaan pendapat mengenai ketentuan
hukum lotere (undian) itu, apakah termasuk judi atau tidak, maka lebih dahulu
dipahami mengenai pengertian judi (Maisir).
Ibrahim Hosen di dalam bukunya yang berjudul Ma huwa al
maisir menyatakan bahwa hakikat judi menurut bahasa Arab adalah permainan
yang mengandung unsur taruhan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung
(berhadapan) di dalam suatu majelis. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa yang
harus digarisbawahi ialah taruhan dan langsung (berhadapan). Illat pengharaman
maisir tidak dijelaskan dalam nash. Sekalipun ada nash yang mengharamkan,
tetapi tidak menyinggungnya. Dengan demikian, illat pengharaman maisir tidak
manshushah. Illat judi harus diteliti, digali, sehingga dapat diketahui. Oleh
karena itu, illat judi yang didapatkan melalui hasil penelitian yang mendalam
disebut illat mustanbathah.
Allah Swt berfirman dalam Q.S. Al-Maidah ayat 90-91:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ
وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ (٩٠)
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berko$rban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)
Pada QS. Al-Maidah ayat 90 dikatakan bahwa judi adalah
rijsun (kotor) dan merupakan perbuatan syaithan. Rijsun dan perbuatan syaithan
tidak dapat dijadikan illat sebab menurut Ibrahim Hosen rijsun itu subjektif
dan masih samar, perbuatan syaithan juga sulit untuk dijadikan kriteria dan
batasannya. Selanjutnya Ibrahim Hosen menjelaskan apabila perbuatan rijsun dan
perbuatan syaithan dijadikan illat hukum, maka ada beberapa hukum yang
mempunyai illat hukum yang sama sebab ayat tersebut berbicara maisir, anshab
dan azlam.
إِنَّمَا
يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al-Maidah: 91)
Selanjutnya Ibrahim Hosen menjelaskan ayat 91 QS.
Al-Maidah. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa maisir akan menimbulkan
permusuhan dan kebencian serta akan menyebabkan pelakunya lalai zikir kepada
Allah. Bila hal ini dijadikan illat hukum, maka akan terjadi seperti pada ayat
90 QS. Al-Maidah di atas, yaitu sifat-sifat itu tidak jelas.
Ibrahim Hosen berpendapat bahwa yang pertama berhasil
menemukan illat maisir adalah Imam Syafi’i. Illat maisir menurut Imam Syafi’i
adalah berhadap-hadapan langsung dan untuk pembuktiannya bisa dilihat langsung
dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i pada bab pacuan kuda. Menurut fiqih Mazhab
Syafi’i terdapat tiga macam taruhan yang dibenarkan oleh agama Islam, yaitu:
a.
Apabila yang
mengeluarkan barang atau harta yang dipertaruhkan adalah pihak ketiga;
b.
Taruhan yang
bersifat sepihak;
c.
Taruhan yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan ketentuan siapa saja yang kalah
harus membayar atau memberikan sesuatu kepada seseorang yang menang. Akan
tetapi cara ini harus dengan muhallil (yang menghalalkan).
Ibrahim Hosen menjelaskan bahwa Muhammad Abduh di dalam tafsir
al-Manar berpendapat bahwa lotere (undian) berbeda dengan judi (maisir),
sebab lotere dilakukan tidak berhadap-hadapan secara langsung.
Dinukil dari kitab Nailul Authar juz VIII hal. 258
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan maisir adalah:
وكل ما لا يخلو للاعب فيه من غنم او غرم
فهو مبسر
“Setiap permainan yang pemainnya tidak sunyi dari menang
atau kalah, maka disebut maisir”.
Ta’rif di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang disebut judi
adalah permainan yang memungkinkan bagi pemainnya untuk menang dan kalah.
Dikemukakan pula oleh Ibrahim Hosen dari kitab Fathul Barry bahwa yang disebut
judi ialah apabila masing-masing dua pihak mengeluarkan taruhan, siapa yang
menang akan mengambil benda-benda yang dijadikan taruhan tersebut (Fathul Barry
juz VI hal. 413).
Akhirnya Ibrahim Hosen menyimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan maisir/judi adalah permainan (baik yang lama maupun yang baru timbul)
yang mengandung unsur taruhan dan dilakukan secara berhadap-hadapan atau
langsung. Sedangkan apabila unsur berhadap-hadapan atau langsung tidak ada atau
unsur taruhan itu ada tetapi tidak dilakukan secara berhadap-hadapan/langsung,
maka jelas permainan itu tidak bisa dikategorikan sebagai maisir atau judi.
Pemerintah RI telah mempunyai seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan undian dan penertiban perjudian, antara lain:
Pemerintah RI telah mempunyai seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan undian dan penertiban perjudian, antara lain:
1.
UU Nomor 38 Tahun
1947 tentang Undian Uang Negara
2.
UU Nomor 22 Tahun
1954 tentang Undian, dan
3.
UU Nomor 7 Tahun
1974 tentang penertiban perjudian.
Sebagian besar ulama di Indonesia mengharamkan segala macam
taruhan dan perjudian, seperti Nasional Lotere (NALO) dan Lotere Totalisator
(Lotto). Pada tahun 60-an masyarakat pernah dilanda oleh lotere, terutama
lotere buntut, yang akhirnya dilarang oleh presiden Sukarno dengan Keppres No.
133 Tahun 1965, karena lotere buntut dianggap dapat merusak moral bangsa dan
digolongkan sebagai subversi. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat
219:
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ
الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
(٢١٩)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir, (QS. Al-Baqarah: 219)
Selain beberapa pendapat di atas, Majelis Ulama Indonesia
Daerah dan beberapa pemerintah daerah menyampaikan keberatan, kritik dan
keprihatinannya terhadap akibat-akibat negatif yang timbul karena Porkas. Dan
yang lebih memprihatinkan, ialah bahwa penggemar Porkas itu umumnya lapisan
masyarakat berpenghasilan rendah. Bahkan telah banyak menyeret kalangan anak
muda dan pelajar.
Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Rasyid Ridha,
menerangkan sebagian resiko/bahaya perjudian, ialah: merusak pendidikan dan
akhlak, melemahkan potensi akal pikiran dan menelantarkan pertanian,
perkebunan, industri dan perdagangan yang merupakan sendi-sendi kemakmuran.
Rasyid Ridha mengingatkan bahwa dalil syar’i yang mengharamkan
semua perjudian termasuk lotere/undian itu adalah dalil yang qath’i
dilalah-nya, artinya dalil yang sudah pasti petunjuknya atas keharamannya
perjudian, sehingga tidak bisa diragukan (perhatikan Surah Al-Maidah ayat
90-91). Hanya saja, ada lotere atau undian yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau lembaga sosial nonpemerintah yang semata-mata untuk menghimpun dana guna
kepentingan umum atau negara.
Kalau kita perhatikan keterangan Rasyid Ridha di atas, tampaknya ia tidak mengharamkan lotere atau undian berhadiah guna kepentingan umum atau negara, karena manfaatnya lebih besar dari mudharatnya. Sebaliknya lotere/undian yang diselenggarakan bukan untuk kepentingan umum atau negara, maka dilarang oleh agama karena mudharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya, berdasarkan kaidah hukum Islam:
Kalau kita perhatikan keterangan Rasyid Ridha di atas, tampaknya ia tidak mengharamkan lotere atau undian berhadiah guna kepentingan umum atau negara, karena manfaatnya lebih besar dari mudharatnya. Sebaliknya lotere/undian yang diselenggarakan bukan untuk kepentingan umum atau negara, maka dilarang oleh agama karena mudharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya, berdasarkan kaidah hukum Islam:
د
رء المفا سد مقدم على جلب المصا لح
“Menghindari kerusakan-kerusakan harus didahulukan daripada
menarik kebaikan-kebaikan”
Tampaknya pendapat Rasyid Ridha tentang lotere/undian
berhadiah yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga sosial swasta guna
kepentingan umum atau negara sama dengan pendapat Ibrahim Hosen bahwa Undian
Harapan, Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB) dan sebagainya, seperti yang biasa
diselenggarakan di dunia sekarang, termasuk Indonesia, baik oleh pemerintahan
(pusat maupun daerah) maupun oleh swasta, dengan tujuan bahwa keuntungannya
dipergunakan semata-mata untuk tujuan-tujuan sosial, pendidikan atau
kepentingan-kepentingan umum lainnya bukan merupakan judi/maisir.
Alasan Ibrahim Hosen sebagaimana dikutip oleh H.S. Muchlis
antara lain ialah: “Maisir/judi adalah suatu permainan yang mengandung unsur
taruhan yang dilakukan secara berhadap-hadapan oleh dua orang atau lebih”. Jadi
illat (penyebab) haramnya maisir/judi adalah berhadap-hadapan, di mana dalam
berhadap-hadapan itu terkandung hikmah yang karenanya maka maisir/judi itu
dilarang/diharamkan, yaitu menyebabkan timbulnya permusuhan dan kebencian
antara pelaku dan menyebabkan mereka lupa kepada Allah serta lalai dari
kewajiban-kewajiban agama.
H.S. Muchlis pada prinsipnya dapat menerima kesimpulan Ibrahim Hosen di atas, tetapi alasan-alasannyalah yang dipandangnya kurang memuaskan; termasuk pula contoh beberapa kasusnya. Menurut H.S. Muchlis, bahwa judi tidak harus ada unsur “berhadap-hadapan” para pelakunya, sebab misalnya jackpot (mesin judi) atau bahkan dengan media pesan singkat (SMS) tak pernah (akan) berhadapan dengan pemiliknya (Bandar) yang sebenarnya. Tetapi tidak ada orang yang sehat pikirannya menyangkal bahwa jackpot dan semisalnya itu adalah judi.
H.S. Muchlis pada prinsipnya dapat menerima kesimpulan Ibrahim Hosen di atas, tetapi alasan-alasannyalah yang dipandangnya kurang memuaskan; termasuk pula contoh beberapa kasusnya. Menurut H.S. Muchlis, bahwa judi tidak harus ada unsur “berhadap-hadapan” para pelakunya, sebab misalnya jackpot (mesin judi) atau bahkan dengan media pesan singkat (SMS) tak pernah (akan) berhadapan dengan pemiliknya (Bandar) yang sebenarnya. Tetapi tidak ada orang yang sehat pikirannya menyangkal bahwa jackpot dan semisalnya itu adalah judi.
Menurut H.S. Muchlis ada dua unsur yang merupakan syarat
formal untuk dinamakan judi, ialah:
1. Harus ada dua pihak
– yang masing-masing terdiri dari satu orang atau lebih – yang bertaruh: yang
menang (penebak tepat atau pemilik nomor yang cocok) dibayar oleh yang kalah
menurut perjanjian dan rumusan tertentu.
2. Menang atau kalah
dikaitkan dengan kesudahan sesuatu peristiwa yang berada di luar kekuasaan, di
luar pengetahuan terlebih dahulu dari para petaruh.
Contoh lain; dua pemain catur yang mengadakan perjanjian,
siapa yang kalah yang membayar kepada yang menang suatu jumlah uang, juga tidak
dapat dikatakan berjudi sebab pertandingan itu merupakan adu
kekuatan/keterampilan/kepandaian. Tetapi para penonton yang bertaruh siapa di
antara dua pemain catur yang akan kalah atau menang, mereka itu main judi.
Menurut H.S. Muchlis, SSB dan Porkas secara formal bukan
judi, karena yang menyelenggarakan bukan bertujuan mengumpulkan dana untuk
kepentingan pribadi dan yang membeli kupon seharusnya membatasi diri membeli
kupon sesuai dengan kemampuannya. Tetapi SSB dan Porkas bisa disalahgunakan
hingga mirip dengan judi, baik oleh si pembeli kupon maupun oleh
penyelenggaranya.
Dari uraian yang dikemukakan oleh H.S. Muchlis, dapat disimpulkan bahwa ia dapat menyetujui undian berhadiah dipergunakan untuk mengumpulkan dana guna membantu lembaga-lembaga sosial dan agama Islam, bahkan bisa juga untuk kepentingan negara semisal penarikan pajak berhadiah, dengan syarat clean dan open management (bersih dan terbuka pengelolaannya)
Dari uraian yang dikemukakan oleh H.S. Muchlis, dapat disimpulkan bahwa ia dapat menyetujui undian berhadiah dipergunakan untuk mengumpulkan dana guna membantu lembaga-lembaga sosial dan agama Islam, bahkan bisa juga untuk kepentingan negara semisal penarikan pajak berhadiah, dengan syarat clean dan open management (bersih dan terbuka pengelolaannya)
Abdurrahman Isa menjelaskan bahwa Islam membolehkan, bahkan
merekomendasikan terhadap usaha menghimpun dana guna membantu lembaga sosial
keagamaan dengan memakai undian berhadiah agar masyarakat tertarik untuk
membantu sosial itu. Menurut ia undian berhadiah untuk amal itu tidak termasuk
judi, karena judi sebagaimana dirumuskan oleh ulama Syafi’i, adalah “antara
kedua belah pihak yang berhadapan itu masing-masing ada unsur untung dan rugi.”
Padahal pada undian berhadiah untuk amal itu pihak penyelenggara tidak
menghadapi untung rugi, sebab uang yang akan masuk sudah ditentukan sebagian
untuk dana sosial dan sebagian lain untuk hadiah dan administrasi. Hadiah yang
diberikan itu adalah suatu strategi untuk menarik mereka agar suka membantu proyek
sosial keagamaan yang memerlukan bantuan tangan mereka.
Kalau kita perhatikan secara obyektif pelaksanaan
lotere/undian/kupon berhadiah selama ini, seperti Lotto, Nalo dan Porkas, maka
kita dapat melihat dampaknya yang sangat negatif terhadap kehidupan bangsa dan
negara sehingga hasil pembangunan materil dan spiritual yang dicapai dengan
dana hasil lotere dan sebagainya tidak ada artinya.
Mengingat mafsadah-nya sudah jelas lebih banyak daripada
maslahahnya, maka saddu al-dzari’ah sudah cukup untuk mengharamkan
lotere/undian/kupon berhadiah. Saddu al-dzari’ah dapat (menutup jalan yang bisa
mengantarkan ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama, menurut pengertian
jumhur) dapat dipakai sebagai dalil syar’i menurut kebanyakan fuqaha. Hanya
mazhab Dzahiri yang menolak saddu al-dzariah sebagai dalil syar’i dengan alasan
bahwa kita cukup menghindari hal-hal yang belum jelas hukumnya
(syubhat/mutasyabihat) agar tidak jatuh ke dalam hal-hal yang terlarang atau
haram.
Memang beberapa ulama berbeda dan berselisih pendapat
mengenai permasalahan hukum lotere/undian. Selain ulama-ulama yang disebutkan
di atas, ada juga ulama yang lain berpendapat mengenai hal hukum lotere/undian
juga penerimaan uang hasil lotere/undian tersebut.
Di dalam buku A. Hasan yang berjudul Soal Tanya Jawab
tentang Berbagai Masalah Agama dijelaskan bahwa kebanyakan para ulama
mengharamkan lotere sekalipun hasil lotere tersebut digunakan untuk derma
(membangun sekolah, pesantren, madrasah Diniyah, rumah jompo, asrama yatim
piatu dan lain sebagainya). Pasalnya, menurut kebanyakan ulama, derma yang
diberikan ini tidak atas dasar keikhlasan, sedangkan dalam konteks Islam,
ikhlas merupakan salah satu masalah yang dianggap pokok. Berdasarkan kaidah
syara’, setiap sesuatu yang dihasilkan (didapatkan) dari cara yang haram, haram
pula benda yang dihasilkannya. Jika dilihat dari sisi ini maka penerimaan uang
hasil lotere adalah haram. Selanjutnya A. Hasan menyimpulkan bahwa mengadakan
lotere dan membeli lotere adalah terlarang, sedangkan menerima dan meminta
bagian dari uang lotere adalah perlu atau mesti sebab kalau tidak diambil
(diperkirakan) akan digunakan oleh umat lain untuk merusak Islam atau paling
tidak memundurkannya. Akhirnya beliau menjelaskan bahwa beliau bersedia ruju’
apabila terbukti pendapatnya keliru atau kurang baik.
Pendapat A. Hasan ini dikritik oleh Ibrahim Hosen. Menurut ia pendapat A. Hasan ini samar karena belum dapat diketahui secara pasti apa yang dimaksud dengan “perlu” dan “mesti”. Apakah yang dimaksud tersebut adalah wajib atau mandhub?
Selain itu, Fuad Mohd. Fachruddin berpendapat bahwa lotere tidak termasuk salah satu perbuatan judi (maisir) yang diharamkan karena illat judi atau maisir tidak terdapat dalam lotere. Kemudian dikatakan bahwa pembeli atau pemasang lotere apabila bermaksud dan bertujuan menolong dan mengharapkan hadiah, maka tidaklah terdapat dalam perbuatan itu satu perjudian. Apabila seseorang bertujuan semata-mata ingin mendapatkan hadiah, menurutnya hal seperti ini pun tidak termasuk perjudian sebab pada perjudian kedua belah pihak berhadap-hadapan dan masing-masing menghadapi kemenangan atau kekalahan.
Pendapat A. Hasan ini dikritik oleh Ibrahim Hosen. Menurut ia pendapat A. Hasan ini samar karena belum dapat diketahui secara pasti apa yang dimaksud dengan “perlu” dan “mesti”. Apakah yang dimaksud tersebut adalah wajib atau mandhub?
Selain itu, Fuad Mohd. Fachruddin berpendapat bahwa lotere tidak termasuk salah satu perbuatan judi (maisir) yang diharamkan karena illat judi atau maisir tidak terdapat dalam lotere. Kemudian dikatakan bahwa pembeli atau pemasang lotere apabila bermaksud dan bertujuan menolong dan mengharapkan hadiah, maka tidaklah terdapat dalam perbuatan itu satu perjudian. Apabila seseorang bertujuan semata-mata ingin mendapatkan hadiah, menurutnya hal seperti ini pun tidak termasuk perjudian sebab pada perjudian kedua belah pihak berhadap-hadapan dan masing-masing menghadapi kemenangan atau kekalahan.
Pengarang kitab tafsir al-Manar, Syaikh Muhammad Abduh
berpendapat bahwa umat Islam diharamkan menerima uang hasil undian (lotere),
baik secara individual maupun secara kolektif. Alasannya karena hal itu
termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Maksud harta yang
batil menurut beliau adalah harta yang tidak ada imbangannya/imbalannya dengan
sesuatu yang nyata. Kata batil berasal dari kata batlan dan batlanan yang
artinya sia-sia dan rugi. Agama telah mengharamkan mengambil harta tanpa ada
imbalannya yang nyata yang dapat dinilai dan tanpa adanya keridhaan pemiliknya,
di mana harta itu diambil, demikian pula haram mendermakannya pada jalan yang
tidak ada manfaatnya.
DR. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya “Halal dan Haram” menyebutkan:
DR. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya “Halal dan Haram” menyebutkan:
حرم
كل لعب يخا لطه قمار وهو ما لا يخلو للا عب فيه من ربح او خسارة
“Setiap permainan yang dicampuri judi (taruhan) adalah
haram, yaitu setiap permainan yang tidak sunyi (lepas) dari untung dan rugi
(untung-untungan).”
Penulis mengutip perkataan M. Ali Hasan dalam bukunya
Masail Fiqhiyah, yang mana beliau berpendapat bahwa lotere dan semacamnya
termasuk judi yang tidak terlepas dari mengadu nasib (untung-untungan). Memang
tujuan mengadakan lotere (SSB, SDSB dan sebagainya) adalah untuk menghimpun
dana yang akan dipergunakan untuk keperluan sosial atau untuk pembinaan
olahraga. Dilihat sepintas lalu memang cukup baik, tetapi dampaknya perlu
diperhatikan dan dipertimbangkan.
1.
Dana hasil penjualan
lotere (SDSB), terserap dari anggota masyarakat yang status ekonominya sangat
lemah. Mulai dari tukang becak sampai yang tidak memiliki pekerjaan dan
penghasilan tetap. Uang yang diperoleh dengan susah payah dihabiskan hanya
untuk membeli lotere dan bukan mementingkan keperluan yang lain semisal,
keperluan rumah tangga.
2.
Merusak jiwa dan
pendidikan anak-anak generasi penerus, dengan cara membiasakan hidup
untung-untungan, mengadu nasib dan menghadapi masa depan dengan langkah yang
tidak pasti.
3.
Merusak akidah,
karena tidak sedikit orang yang pergi kepada tukang ramal untuk mencari nomor
yang tepat.
Disinilah pertimbangan kaidah-kaidah “menghindari
kerusakan-kerusakan harus didahulukan daripada menarik kebaikan-kebaikan.” Dan
menutup pintu/jalan kerusakan “ سد الذ ريعة ” perlu digunakan. Tindakan
preventif, mencegah perbuatan yang tidak baik atau merusak sebelum terjadi
adalah lebih baik daripada memperbaikinya sesudah terlanjur terjadi sama dengan
hal menjaga penyakit (kesehatan) lebih baik daripada mengobati sesudah sakit.
Kemudian mengenai undian yang berlaku sekarang semisal
untuk mempromosikan barang atau toko dengan cara menarik undian bagi orang yang
berbelanja barang atau di toko tersebut melalui kupon atau karcis M. Ali Hasan
berpendapat tidak termasuk seperti lotere, SSB dan semacamnya karena pemegang
kupon berhadiah itu tidak dirugikan. Namun hendaknya diingat, bahwa jangan
sampai berlebihan dalam berbelanja semisal karena ingin mendapatkan hadiah
daripada undian yang diadakan, padahal barang dan keperluan yang lain masih
banyak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam jiwa dan pribadi
masing-masing harus ditanamkan bahwa berbelanja secara wajar sesuai keperluan
dan undian tidak menjadi tujuan.
B.
Perlombaan
Berhadiah
Adapun yang dimaksud dengan perlombaan berhadiah, ialah
perlombaan yang bersifat adu kekuatan seperti bergulat atau lomba lari, atau
adu keterampilan/ketangkasan seperti badminton/sepak bola atau adu kepandaian
seperti main catur.
Pada prinsipnya lomba semacam tersebut di atas diperbolehkan
oleh agama asal tidak membahayakan keselamatan badan dan jiwa. Dan mengenai
uang hadiah yang diperoleh dari hasil lomba tersebut diperbolehkan oleh agama,
jika dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1.
Jika uang/hadiah
lomba itu disediakan oleh pemerintah atau sponsor nonpemerintah untuk para
pemenang.
2.
Jika uang/hadiah
lomba itu merupakan janji salah satu dari dua orang yang berlomba kepada
lawannya, jika ia dapat dikalahkan oleh lawannya itu.
3.
Jika uang/hadiah
lomba disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka disertai dengan muhallil,
yaitu orang yang berfungsi menghalalkan perjanjian lomba dengan uang sebagai
pihak ketiga yang akan mengambil uang/hadiah itu, jika jagonya menang, tetapi
ia tidak harus membayar, jika jagonya kalah.
Para ulama membolehkan balapan kuda, sapi dan sebagainya
dengan syarat uang/hadiah yang diterimanya itu berasal dari pihak ketiga
(sponsor lomba) atau dari sebagian peserta lomba. Islam membolehkan balapan
kuda dan sebagainya itu adalah untuk mendorong umat Islam mempunyai
keterampilan dan keberanian menunggang kuda yang sangat diperlukan untuk
peperangan dahulu. Tetapi sekarang orang melatih diri agar menjadi joki yang
hebat.
Perlombaan menjadi haram apabila ada diantara para peserta
lomba ada yang bertaruh mengajak peserta lainnya. Semisal, siapa yang kalah
akan membayar uang. Perlombaan ini haram karena masing-masing menghadapi untung
rugi.
Abdurrahman Isa berpendapat haram apabila ada orang-orang yang membeli kupon berhadiah untuk mengisi tebakannya siapa/kuda yang mana yang juara/pemenang. Itu semua jelas bahwa mereka itu berjudi yang mempunyai banyak dampak negatifnya kemudian. Abdurrahman Isa juga menegaskan bahwa menyelenggarakan undian berhadiah yang dikaitkan dengan balapan kuda dan sebagainya itu dilarang oleh agama, meskipun dilakukan oleh lembaga sosial untuk menghimpun dana guna membantu proyek-proyek sosial keagamaan dan kesejahteraan sosial, karena taruhan balapan kuda itu haram, maka undian berhadiah yang dikaitkan dengan yang haram itu turut menjadi haram. Dapat disimpulkan bahwa menurut beliau jual beli porkas itu juga haram/dilarang agama, karena mengandung taruhan yang dikaitkan dengan hasil pertandingan antara dua kesebelasan yang bertanding baik secara riil maupun fiktif sebagaimana pelaksanaan porkas sekarang ini.
Abdurrahman Isa berpendapat haram apabila ada orang-orang yang membeli kupon berhadiah untuk mengisi tebakannya siapa/kuda yang mana yang juara/pemenang. Itu semua jelas bahwa mereka itu berjudi yang mempunyai banyak dampak negatifnya kemudian. Abdurrahman Isa juga menegaskan bahwa menyelenggarakan undian berhadiah yang dikaitkan dengan balapan kuda dan sebagainya itu dilarang oleh agama, meskipun dilakukan oleh lembaga sosial untuk menghimpun dana guna membantu proyek-proyek sosial keagamaan dan kesejahteraan sosial, karena taruhan balapan kuda itu haram, maka undian berhadiah yang dikaitkan dengan yang haram itu turut menjadi haram. Dapat disimpulkan bahwa menurut beliau jual beli porkas itu juga haram/dilarang agama, karena mengandung taruhan yang dikaitkan dengan hasil pertandingan antara dua kesebelasan yang bertanding baik secara riil maupun fiktif sebagaimana pelaksanaan porkas sekarang ini.
Perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum undian
berhadiah dan perlombaan berhadiah memang beragam, ada yang membolehkan dengan
beberapa catatan dan ada juga yang tidak membolehkan sama sekali karena
dikhawatirkan mudharatnya yang begitu besar. Namun disini penulis memberikan
rekomendasi supaya kiranya kita sebagai umat Islam lebih cermat dalam mengambil
keputusan, terutama dalam pelakanaan kegiatan undian dan perlombaan berhadiah.
Supaya tidak terjadi kekeliruan hukum yang diambil yang mana akan menyebabkan
kepada kemudharatan besar bagi kita semua.
C.
Kesimpulan
Undian berhadiah adalah undian berhadiah barang atas dasar
syarat-syarat tertentu yang ditetapkan sebelumnya. Menang atau kalah sangat
bergantung kepada nasib. Penyelenggaranya bisa oleh perorangan, lembaga atau
badan, baik resmi maupun swasta menurut peraturan pemerintah (Departemen
Sosial). Undian itu biasanya diadakan bertujuan untuk mengumpulkan dana atau
propaganda peningkatan pemasaran barang dagangan. Adapun beberapa pendapat mengenai
hukum tentang undian berhadiah ini beragam. Di antaranya adalah Ibrahim Hosen,
H.S. Mushlis dan Fuad Mohd. Fachruddin. Mereka berpendapat bahwa undian
berhadiah bukan termasuk judi karena tidak dilakukan secara berhadap-hadapan
dan tidak terdapat unsur menang dan kalah/untung rugi sebagaimana yang
diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Selain itu, hasil yang digunakan dari undian
berhadiah itu adalah untuk kegiatan sosial atau pembangunan.
Namun dibalik beberapa ulama yang membolehkan, ada juga
para ulama yang mengharamkan pelaksanaan undian berhadiah dan pengambilan hasil
atau hadiah daripada undian berhadiah tersebut. Di antara para ulama yang
berpendapat demikian adalah; Muhammad Abduh, beliau berpendapat karena resiko
atau kemudharatan yang disebabkan undian berhadiah tersebut kemudian lebih
banyak dari manfaatnya dan mengambil hasil dari undian berhadiah itu adalah
tidak boleh karena termasuk memakan harta yang batil. Ulama yang paling keras
terhadap hukum undian berhadiah ini adalah A. Hasan yang mengatakan bahwa
kebanyakan para ulama mengharamkan karena pemberian derma untuk
pembangunan/kegiatan sosial tersebut tidak atas dasar keikhlasan.
Perlombaan berhadiah ialah perlombaan yang bersifat adu
kekuatan seperti bergulat atau lomba lari, atau adu keterampilan/ketangkasan
seperti badminton/sepak bola atau adu kepandaian seperti main catur. Mengenai
uang hadiah hasil lomba tersebut diperbolehkan namun ada beberapa catatan:
1.
Jika uang/hadiah
lomba itu disediakan oleh pemerintah atau sponsor nonpemerintah untuk para
pemenang.
2. Jika uang/hadiah
lomba itu merupakan janji salah satu dari dua orang yang berlomba kepada
lawannya, jika ia dapat dikalahkan oleh lawannya itu.
3.
Jika uang/hadiah
lomba disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka disertai dengan muhallil,
yaitu orang yang berfungsi menghalalkan perjanjian lomba dengan uang sebagai
pihak ketiga yang akan mengambil uang/hadiah itu, jika jagonya menang, tetapi
ia tidak harus membayar, jika jagonya kalah.
Perlombaan jadi haram jika ada sifat judi yaitu ada unsur
untung rugi apalagi ada taruhan di dalamnya yang pastinya akan merugikan salah
satu dari dua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali.. Masail Fiqhiyah
(Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan). Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2003
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah.
Jakarta: PT Toko Gunung Agung. 1997
No comments:
Post a Comment