AL-QASHASH FI AL-QUR’AN
I. Pendahuluan
Kesan
dari suatu pesan tentang sesuatu peristiwa akan lebih bermakna dan menarik
apabila disajikan sesuai dengan tuntutan jiwa penerima pesan tersebut, yang
lazimnya terjadi melalui metode penyampaian dalam bentuk kisah, sehingga pesan
yang terdapat dalam kisah itu akan berpengaruh dan terkesan bagi penerima.
Al-qur’an,
banyak menyimpan kisah, baik kisah nyata yang benar-benar terjadi pada masa
lampau dan akan datang, kisah yang bersifat simbolik, peristiwa yang terjadi pada
satu waktu tertentu, maupun kisah yang bersifat kesejahteraan, yang berkenaan
dengan kehidupan Nabi ataupun Rasul, sebuah komunits (umat) dengan berbagai
peristiwa yang dapat dijadikan sebagai tamsilan, iktibar dalam kehidupan,
sebagai pedoman bagi generasi pendatang setelah peristiwa itu terjadi.
Kisah-kisah
dalam Al-quran jika ditelaah, memang tidak termaktub secara kronologis, karena
Alquran bukan merupakan kitab Sejarah. Satu kisah bisa muncul dalam beberapa
surah yang berlainan. Sehingga susunan Alquran terkesan tidak sistematis
sebagaimana karya atau kitab-kitab lainnya.1
Tetapi sebenarnya sistematika ini adalah untuk menutup peluang bagi pengkritik
yang menilai Alquran sebagai suatu yang kacau, sebab menurut kelompok
pengkritik ini uraian alquran yang disajikan sifatnya jumping (lompat-lompat),
belum selesai mengisahkan satu peristiwa, tiba-tiba melompat pada peristiwa
lain, dan terkadang tidak berhubungan sedikitpun dengan uraian sebelumnya.2
Demikian juga hal-hal yang berkenaan dengan hukum lain selain kisah, sehingga dalam suatu surah tergabung berbagai persoalan. Keritik seperti ini telah ditanggapi oleh beberapa tokoh, diantaranya al-Khaththabi (319-388 H) dalam bukunya Bayan I’jaz alQuran,3 demikian juga tentang pengulangan kisah, 4 dimana kesemuanya itu ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
Lebih
dari itu apakah kisah-kisah yang terdapat dalam Alquran dapat dibuktikan sesuai
dengan fakta ? atau hanya iktibar saja dan tidak pernah terjadi. Kemudian
kisah-kisah yang bagaimana yang diungkapkan oleh Alquran, dan adakah makna
tersendiri dalam sajian Alquran dalam menyampaikan kisah dengan sistematika
yang terkesan tidak berurutan itu. Untuk melihat lebih lanjut, makalah
sederhana ini akan mencoba memberi jawaban terhadap persoalan di atas.
II. Pengertian al-Qashash dan Perbedaannya dengan Sejarah
Secara
etimologi, kata adalah
bentuk mashdar dari kata kerja (fi’il) yaitu :
“ yang berarti “
mencari atau mengikuti jejak selangkah demi selangkah.5
Dikatakan , saya
mencari atau mengikuti jejaknya.6 Qashash 7 dalam pengertian mencari atau mengikuti
dapat dilihat dalam alquran, antara lain :
“
Lalu keduanya mengikuti jejak mereka semula”. (QS. Al.Kahfi: 64).
“dan
berkata Ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan, ikutilah dia.” (QS.
Al-Qashash:11).
Qashash
dapat juga diartikan
yaitu berita yang berurutan.8 Pada
pengertian ini, firman Allah SWT menyebutkan :
“Sesungguhnya
ini adalah berita yang benar.” (QS.Ali Imran:62)
Adapun
pengertian secara terminologi, oleh Muhammad Kamil Hasan mengemukakan, kisah
adalah sarana untuk mengungkapkan seluruh pengalaman hidup seseorang atau
kelompok masyarakat, meliputi suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa.9
Pengertian ini biasanya dikategorikan pada kelompok makna kisah secara
umum, atau lebih dikenal dengan istilah Sejarah. Sedangkan al-Qaththan
memberikan pengertian qashash al-Quran adalah pemberitaan alquran tentang hal
ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi maupun yang akan terjadi.10
Jika
diperhatikan sekilas memang terkesan pengertian kisah (al-qashash) dengan
istilah Sejarah tidak jauh berbeda atau bisa dikatakan memiliki kesamaan. Namun
apabila ditelaah dengan seksama maka sangat nampak perbedaan keduanya. Istilah
Sejarah diartikan secara etimologi, adalah ilmu pengetahuan yang berasal dari bahasa
Yunani, yaitu, “istoria” berarti ilmu. Adapun dari sisi terminology,
Aristoteles berpendapat bahwa istoria (Sejarah) adalah penelaahan sistematis
mengenai seperangkat gejala alam yang terjadi di alam semesta. Dalam bahasa
Jerman, kata Sejarah (Geschitce) berasal dari kata Geschehen yang berarti
terjadi, dan menurut istilah adalah suatu hal yang telah terjadi.11
Dari
pengertian terminologi menurut al-Qaththan di atas, sebenarnya merupakan
kejelasan bahwa kisah (al-qashash) tidak sama dengan Sejarah, dongeng, buku
cerita atau sejenisnya. Selain al-quran adalah kitab yang didalamnya
menjelaskan berbagai perintah Tuhan, juga sebagai kitab yang tidak dapat dan
atau mungkin untuk ditandingi oleh bentuk perintah, cerita, buku atau
perjalanan berita seseorang atau kejadian apapun.
Kemudian
al-quran sebagai kalamullah dan suci dari ketiadaan bukti-bukti tentang
kejadian suatu kisah. Kisah alquran tidak lain merupakan hakikat yang berkenaan
dengan perjalanan alur suatu kisah itu sendiri. Fakta Sejarah yang diungkapkan
Alquran dalam berbagai bahasa yagn indah dan memukau, mempesona, merupakan
suatu bukti bahwa kisah tersebut nyata. Toshihiki Izutsu menyataka, tanpa
adanya penjelasan, al-qashash dalam Alquran ialah agama sebagai sumber dan
pokok dasar dari seluruh permasalahannya (ultimate ground of all things).
Alquran mengandung tentang konsep-konsep etis religius sebagai azas yang sangat
penting dan mendasar dari seluruh hal yang berkaitan dengan moralitas.12
Seiring
dengan itu, secara khusus al-Qaththan, menyingkap kandungan kisah dalam
al-Quran (al-qashash fi Qur’an) memiliki tujuan sebagai berikut :
Ø
Menjelaskan azas-azas dakwah menuju Allah dan
menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Ø
Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat manusia
atas agama Allah, memperkuat kepercayan mukmin tentang kemenangan yang benar
dan para pendukung serta hancurnya kebatilan bersama pembelanya.
Ø
Membenarkan kisah para Nabi dan Rasul terdahulu,
menghidupkan kenangan pengabdian mereka.
Ø
Menampilkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya
seperti yang dikisahkannya tentang berbagai hal ihwal orang-orang terdahulu
sepanjang kurun dan umat manusia.
Ø
Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah
yang menyelewengkan keterangan dan petunjuk yang disembunyikan, dan menantang
mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu dirubah dan diganti.
Ø
Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yagn
dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yagn
terkandung didalamnya ke dalam jiwa manusia.
Ø
Kisah-kisah dalam Alquran bukan saja memuat
prinsip-prinsip pendidikan psikologi, namun juga aspek rasio. Rasio manusia
dibebaskan dari keterbelakangan dalam tradisi-tradisi lama yang menyesatkan dan
menghambat kebebasan berpikir.
III. Kisah Para Nabi dalam Budaya Arab Jahiliyah
Pada
dasarnya kisah yang dikemukakan Alquran merupakan kisah yang sudah dikenal dan
diceritakan dalam kitab-kitab terdahulu. Al-Dzahabi menyebutkan bahwa
diantara kisah-kisah Nabi dan Rasul
dalam Alquran, juga ditemukan dalam kitab-kitab suci yang diturunkan Allah
kepada RasulNya terdahulu seperti Taurat dan Injil.13 Hal ini Alquran sendiri menjelaskan
kesamaan diantara kisah yang terdapat pada kitab-kitab dimaksud.
Selain
daripada itu, Alquran menampilkan kembali guna menguji dan menentukan benar tidaknya
kisah yang terdapat pada kitab-kitab sebelumnya, mengingat kebenaran yang
terdapat pada kitab yagn ada sekaran (Perjanjian lama dan baru), tidak dijamin
keautentikannya karena telah terjadi perubahan dan penukaran akibat adanya
campur tangan manusia.14
Ada
beberapa kisah dalam Alquran tentang para Nabi dan Rasul dengan kaumnya yang
membangkang lalu berakhir dengan azab Allah terhadap mereka. Kisah seperti ini
dapat ditemukan pada Kitab Perjanjian lama. Hanya saja gagasan-gagasan itu lebih samar dan tidak sama apa yang
dikish oleh alquran.
IV. Ragam Bentuk Pengungkapan Kisah
Apabila
diperhatikan secara cermat, nampak bahwa sebagai kitab hidayah, Alquran memuat
bermacam kisah dengan gaya dan karakteistik tersendiri. Quraish shibah
mengklasifikasikannya dalam dua macam, pertama kisah yang benar-benar terjadi,
kedua kisah yang disajikan itu bersifat simbolik.15
V. Rahasia Metode Pengulangan Kisah dalam Qlquran
Kisah
yang terdapat dalam Alquran, abgi seorang mukmin, betapapun harus diakui bahw
ia merupakan sebuah kebenaran dan bukan
hayalan (fiktif) belaka. Tetapi apakah pandangan ini sama bagi yang
bukan mukmin, karena kisah itu sendiri tidak selamanya dapat dibuktikan
kebenarannya berdasarkan data ilmiah. Ditambah lagi pengulangan suatu kisah
pada surat yang sama ataupun berbeda bahkan kadang berjumlah lebih dari dua
kali pengulangan.
Oleh
karenanya, alquran dalam penyampaian kisah-kisah menampilkan dalam metode
tersendiri dan apabila diperhatikan dengan cermat, nampak bahwa metode tersebut
hanya dimiliki oleh Alquran sendiri. Tujuan yang akan dicapai dari metode
dimaksud adalah bagaimana Alquran itu dapat dipahami secara baik serta berhasil
guna dengan efektif bagi kehidupan umat manusia.
Rahasia
pengulangan kisah dalam Alquran, yaitu satu kisah dapat ditemukan pada beberapa
ayat yang berbeda dan sering menggunakan kalimat yang juga berbeda, tetapi
memiliki pengertian yang sama, disamping didapati nilai tambah dari kisah itu.
Sebagai contoh, kisah Nabi Nuh as, terdapat sebanyak 25 ayat dan kisah Nabi
Musa as berjumlah 70 ayat.16
Sehubungan
dengan terjadinya pengulangan kisah dalam alquran, al-Qaththan mengatakan bahw
yang demikian itu ada empat macam rahasia yang dapat diambil yaitu :
Ø
Untuk menjelaskan ke-balaghah-an Alqura dalam
tingkat paling tinggi. Sehingga tida ada kebosanan dan dapat menambah
makna-makna baru yang tidak didapatkan di saat membacanya di surat lain.
Ø
Menunjukkan kehebatan mukjizat alquran. Sebab
mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat yang mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi
sastrawan Arab, dan merupakan tantangan dahsyat serta bukti alquran datang dari
Allah SWT.
Ø
Memberikan perhatian besar terhadap kisah yang
diulang-ulang, supaya pesan yang disampaikan lebih melekat dalam jiwa dan
diingat oleh manusia. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu metode
pengukuhan dan indikasi betapa besar perhatian Alquran terhadap kisah dimaksuf.
Ø
Perbedaan tujuan yang karenanya kisah tersebut
diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan pada satu tempat,
sebab pengulangan kisah dimaksud sangat diperlukan, sedang makna-makna lainnya
dikemukakan di tempat lain, yang sesuai dengan tuntutan keadaan.17
Selain pandanga yang disebutkan oleh al-Qaththan di atas, Abd Rahman Dahlan, juga mengatakan bahwa Alquran biasanya lebih dahulu menyebutkan kandungan suatu kisah secara umum melalui beberapa kata secara singkat. Memberikan penegasan dan penolakan apabila dipandang kisah tersebut hendak menyampaikan pesan-pesan penting dan selanjutnya menguraikannya secara universal.
VI. Penutup
Secara
naluriah, manusia tidak menafikan tentang
kisah, bahkan sangat mempengaruhi dalam menangkap pesan dari suatu
kisah. Dan alquran yang mengandung berbagai kisah baik yang bersifat simbolik
atau kenyataan pada masa lalu tentang seorang nabi dengan kaumnya atau tokoh
dan komunitas tertentu di suatu tempat dan waktu, adalah ‘ibrah dan pengajaran
bagi generasi berikut.
Pembuktian
ilmiah tentang kebenaran kisah Alquran telah banyak yang terbukti, sementara
yang masih belum terbukti hanya proses dan perbedaan waktu yang menentukan, dan
apa yang belum terbukti tersebut merupakan kelemahan manusia sendiri bukan oleh karena kebohongan kisah-kisah
Alquran. Hal inilah yang menjadikan garis pemisah antara kisah (alqashash)
dengan Sejarah.
Bentuk
pengulangan kisah yang terdapat dalam Alquran tidak lain adalah sebagai
penegasan dan penjelasan kepada manusia bahwa bahasa yang digunakan alquran
mengandung berbagai macam rahasia Tuhan, hanya mereka yang dekat kepadaNya yang
mampu mengungkap rahasia-rahasia tersebut.
DAFTAR BACAAN
Abd Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Quran, Mizan, Bandung, 1997
Al-Umry, Jamal Ahmad Dirasah fi al-Quran wa al-Sunnah, Darul Ma’arif, Kairo 1982.
Al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta 1981.
Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. II, Mansyurat al-“Ashr al-Hadits, Riyadh, tt.
Al-Razy, I Mafatih al-Ghaibi, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Juz VI, Beirut 1990.
Hasbullah Bakry, Isa dalam Quran Muhammad dalam Bible, Pustaka al-Hidayah, Beirut. 1999.
Hassan, Alquran wa al-Qishash al-Haditsah, Dar al-Buhuts al-‘Ilimiyah, Beirut, 1970
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (edisi Indonesia) Terj. Nugroho Notosusanto, UI-Press, Jakarta 1969, hal 27.
Muhammad Zaghlul Salam, Tsalatsu Rasail fi I’ja alQuran al-Rrmmawi, al-Khaththabi wa al-Jurjani, Dar al-Ma’arif, Kairo, tt.
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran,, Mizan, Bandung, 1998
Siddiqi, Konsep qur’an tentang Sejarah, Pustaka Firdaus, Jakarta 1986.
Toshihiko
Izutsu, Ethico Religious Concepts
in The Qur’an, McGill University
Press, Canada 1966.
1 Jika diteliti lebih lanjut, justru hal ini yang membedakan Al-quran sebagai wahyu dibanding dengan kitab-kitab atau karangan lainnya karya manusia. Sekaligus membuktikan bahwa alquran bukan karya Nabi Muhammad SAW.
2 Shihab, Mukjizat al-Quran, Mizan, Bandung, 1998, hal. 239
3 Diantara tanggapan beliau yang dikutip oleh Muhammad Zahlul salam, adalah tujuan bergabungnya berbagai persoalan dalam satu surah adalah agar setiap pembaca surah dapat memperoleh sekian banyak petunjuk dalam waktu yang singkat, tanpa harus membaca seluruh ayat alquran. Allah SWT bermaksud menguji hambaNya menyangkut ketaatan dan kesungguhan mereka melalui aneka ragam petunjuk. Lihat Muhammad Zaghlul salam, Tsalatsu Rasail fi I’ja alQuran al-Rammawi, al-Khaththabi wa al-Jurjani, Dar al-Ma’arif, kairo, t.t, hal. 49-50.
4 Kecuali itu, diantara kisah yang tidak berulang dalam al-Quran adalah kisah tentang Nabi Yusuf As, karena ada hikmah yang terkandung di dalamnya, yaitu : pertama, ksiah tersebut membicarakan tentang keadaan wanita (niswah) yang melakukan fitnah karena kegantengan seoran gpria, maka wajar jika hal demikan ditutupi dan disembunyaikan. Kedua, pada kisah tersebut diawali dengan penderitaan dan berakhir kebahagiaan, berbeda dengan kisah lainnya, yang diawali dengan kebahagiaan berakhir penderitaan (siksaan). Ketiga, sebahagiaan mufassir mengemukakan bahwa yang demikitan itu merupakan isyarat terhadap lemahnya bangsa Arab, apabila ditantang dalam membuat kisah menarik dengan fashshah luar biasa seperti al-Quran. Al-Umry, Dirasat fi al-Quran wa al Sunnah, Darul Ma’arif, Kairo, 1982, hal. 109-110.
5 Louis Ma’luf, al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1986, hal. 631
6 Al-Munawwir, Kamus al-Munawwair, Krapyak, Yogyakarta 1981, hal 1210-1211.
7 Kata qashash (qishah0 dalam alquran terdapat sebanyak 29 kata, tujuh dalam bentuk isim dan dua belas dalam bentuk fi’il. Lihat Al-Mu’jam, Ibid, hal. 693.
8 Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. II, Mansyurat al-“Ashr al-Hadits, Riyadh, t.t, hal. 305.
9 Hassan, Alquran wa la-Qishash al-Haditsah, Dar al-Buhuts al-‘Ilmiyah, Beirut, 1970, hal. 9
10 Al-Qaththan, Op.cit, hal. 306.
11 Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, (edisi Indonesia), Terj. Nugroho notosusanto, UI-Press, Jakarta, 1969, hal. 27
12 Toshiko izutsu, Ethico Religius Concepts in The Qur’an, McGill University Press, Canada 1966, hal.252.
13 M. Hin. Al-Dzahabi, al-ijtihad al-Muharifah al-Quran al-karim dawafi ‘uha wa Dhaf’uha, Dr al-I’tisham, 1978, hal 25
14 Shihab, Ibid, hal. 211.
15 Shihab. Op.cit, hal. 200-203.
16 Al’Umry, Op.cit, hal. 105-17
17 al-Qaththan, Op.cit, hal. 308.